Tindakan Agung Sedayu Disebut Mematikan Penghidupan Rakyat Kecil

Jakarta, Gatranews.id – Aktivitas penimbunan sungai di Kecamatan Mauk, Tanjung Pasir, dan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, yang diduga dilakukan oleh pengembang PT Agung Sedayu Grup, menuai protes keras dari masyarakat setempat.
Warga menyebut tindakan ini telah merusak ekosistem, menutup mata pencaharian petambak dan nelayan, serta mengakibatkan dampak lingkungan yang serius.
Pencabutan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di wilayah tersebut oleh TNI-AL bersama masyarakat nelayan setempat tak cukup menenangkan warga yang terdampak.
Mereka menyoroti pengurukan sungai dan empang yang dilakukan demi pembangunan perumahan dan infrastruktur di kawasan tersebut.
Kerugian Warga dan Dampak Lingkungan
Menurut warga, aktivitas penimbunan sungai menyebabkan sejumlah kerugian serius. Aliran air terganggu sehingga mengakibatkan banjir, pasokan air bersih menurun, dan habitat ikan serta ekosistem mangrove rusak. Dampak ini mengancam mata pencaharian petani tambak dan nelayan.
“Penimbunan sungai ini membuat tambak kami tidak lagi berfungsi seperti dulu. Air tak lagi mengalir lancar, dan hasil tambak terus menurun,” ujar Salim (45), seorang petani tambak di Kronjo. “Kami hanya meminta hak kami dikembalikan, jangan sampai pembangunan mematikan hidup kami,” tambahnya.
Minimnya Respons Aparat
Selain kerugian lingkungan dan ekonomi, warga juga menyayangkan minimnya tindakan aparat terkait. Pihak desa, kecamatan, hingga pemerintah daerah dianggap abai terhadap masalah ini. Bahkan, warga yang melaporkan dugaan pelanggaran hukum justru mengaku mendapat intimidasi.
“Ketika kami mengadukan masalah ini, malah kami yang ditekan. Beberapa warga bahkan diproses hukum, sementara pengembang seolah kebal hukum,” ungkap Juju Purwantoro, anggota Tim Advokasi Penggugat kasus PIK-2.
Juju juga menegaskan bahwa pengurukan sungai dan penyerobotan lahan yang dilakukan pengembang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Dugaan Pelanggaran Hukum
Aktivitas penimbunan sungai disebut melanggar sejumlah aturan, antara lain:
- UU No. 32 Tahun 2009: Larangan perusakan lingkungan hidup.
- UU No. 17 Tahun 2019: Larangan penguasaan sumber daya air oleh perseorangan atau badan usaha.
- PP No. 38 Tahun 2011: Larangan membangun di sempadan sungai dalam radius 0-20 meter.
- PP No. 35 Tahun 1991: Larangan menimbun sungai dan bantaran sungai.
“Semua aturan ini jelas melarang tindakan seperti ini. Sungai adalah aset negara, bukan milik pengembang. Pemerintah harus segera bertindak tegas agar hal serupa tidak terulang,” kata Juju.
Tuntutan Warga
Masyarakat terdampak mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengambil langkah konkret. Mereka meminta pengembang dihukum atas dugaan pelanggaran lingkungan dan hak warga, serta memulihkan kondisi lingkungan yang sudah rusak.
“Kami hanya ingin keadilan. Pengembang harus bertanggung jawab, dan aparat jangan hanya diam. Kalau sungai ini rusak, kami mau makan apa?” tegas Salim.
Respons Pemerintah Ditunggu
Sementara itu, pemerintah daerah dan instansi terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN), belum memberikan tanggapan resmi atas desakan warga.
Pengamat lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Heru Wibowo, menilai kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap proyek pembangunan. “Jika pemerintah tidak segera bertindak, kasus ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Penegakan hukum harus dilakukan, baik terhadap pengembang maupun aparat yang terlibat,” ujarnya.
Warga berharap kasus ini menjadi perhatian serius pemerintah pusat, mengingat dampaknya yang meluas terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. “Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” pungkas Juju.