Pembangkangan Konstitusi oleh Badan Legislasi DPR Tak Dapat Ditoleransi

Jakarta, Gatranews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan tiga putusan penting terkait uji materi pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 20 Agustus 2024. Keputusan ini diyakini menjadi tonggak penting bagi demokrasi dan kedaulatan rakyat di Indonesia.
Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD tetap dapat mencalonkan kepala daerah, termasuk gubernur dan wakil gubernur. Hal ini dinilai sebagai langkah penting untuk memperkuat demokrasi.
“Putusan ini sangat penting bagi tonggak demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta untuk memenuhi asas demokrasi seperti dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD,” kata Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), pada Senin (22/8).
Ia menekankan bahwa suara rakyat yang diberikan kepada partai politik, meskipun tidak mendapat kursi di DPRD, tidak boleh diabaikan dalam pencalonan kepala daerah.
Selain itu, MK juga mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen kursi di DPRD menjadi antara 6,5 hingga 10 persen perolehan suara.
Anthony Budiawan menjelaskan bahwa perubahan ini adalah konsekuensi logis dari putusan pertama. “Putusan MK ini sebagai konsekuensi dari Putusan pertama, agar partai politik yang tidak mendapat kursi dapat berpartisipasi dalam pilkada,” ujarnya.
Langkah ini juga dinilai sejalan dengan prinsip kesetaraan hukum yang diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Putusan MK juga menegaskan batas usia calon kepala daerah untuk tingkat provinsi paling rendah 30 tahun pada saat penetapan calon. Anthony menilai, konsistensi batas usia minimum ini sangat penting untuk memberi kepastian hukum.
“Konsistensi batas usia minimum ini sangat penting untuk memberi kepastian hukum, seperti perintah Konstitusi, Pasal 28D ayat (1),” tambahnya.
Namun, polemik muncul ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan rumusan yang berbeda dengan putusan MK. Baleg merumuskan ambang batas pencalonan kepala daerah hanya berlaku bagi partai politik yang tidak mempunyai kursi di DPRD, sementara partai yang memiliki kursi tetap menggunakan ambang batas lama.
Rumusan ini langsung menuai kritik keras dari berbagai pihak. “Rumusan Baleg ini bukan saja melanggar Putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tetapi juga melanggar Konstitusi secara nyata dan brutal,” ujar Anthony Budiawan.
Tak hanya itu, Baleg juga merumuskan bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat pelantikan, bukan pada saat pendaftaran. Rumusan ini dinilai melanggar Putusan MK yang sudah menegaskan batas usia tersebut pada saat pendaftaran.
Anthony Budiawan menilai bahwa langkah Baleg ini sebagai bentuk pembangkangan konstitusi yang tidak bisa ditoleransi. “Rumusan Baleg tersebut tidak ada pijakan hukum sehingga wajib batal,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan tersebut harus diusut karena telah melakukan tindakan yang berpotensi merusak masa depan demokrasi di Indonesia.
“Rumusan Baleg terkait UU pilkada tersebut merupakan pembangkangan konstitusi, pelanggaran konstitusi, pengamputasian demokrasi dan kedaulatan rakyat, yang tidak bisa ditoleransi, karena akan membawa Indonesia menjadi negara kekuasaan dan otoritarian yang akan menghancurkan bangsa Indonesia.” tegasnya.