Transnistria: Wilayah Separatis yang Didukung Rusia, Konflik Beku di Jantung Eropa Timur

Jakarta, Gatranews.id – Transnistria, atau dikenal juga sebagai Transdniester, merupakan wilayah separatis yang terletak di sepanjang perbatasan timur Moldova dengan Ukraina. Wilayah ini dikenal dengan sejarah panjang yang diwarnai ketegangan etnis, konflik bersenjata, dan keterlibatan Rusia dalam mendukung separatisme.
Hingga kini, Transnistria tetap menjadi salah satu konflik beku yang belum terselesaikan di Eropa Timur dengan pengaruh besar dari Rusia dalam politik dan militernya.
Asal Usul Sejarah Transnistria
Sejarah Transnistria berakar sejak perpecahan Kekaisaran Rusia pada 1917. Setelah Revolusi Bolshevik, wilayah ini menjadi bagian dari Republik Demokratik Moldavia, yang kemudian berintegrasi dengan Uni Soviet melalui pendirian Republik Sosialis Soviet Otonom Moldavia (MASSR) pada tahun 1924 di bawah administrasi Ukraina Soviet.
Pada 1940, akibat perjanjian Molotov-Ribbentrop antara Uni Soviet dan Jerman Nazi, Moldova dan Transnistria disatukan menjadi Republik Sosialis Soviet Moldavia. Di bawah rezim Soviet, Transnistria mengalami industrialisasi dengan populasi yang beragam, termasuk etnis Moldova, Rusia, dan Ukraina.
Ketegangan Etnis dan Deklarasi Kemerdekaan
Ketegangan mulai meningkat pada akhir 1980-an ketika Uni Soviet mulai runtuh. Moldova yang memiliki budaya dan bahasa mirip dengan Rumania, mulai menguatkan identitas nasionalnya. Namun, Transnistria yang mayoritas berbahasa Rusia menolak perubahan tersebut.
Pada 2 September 1990, Transnistria mendeklarasikan kemerdekaan sepihak dengan nama Republik Moldavia Pridnestrovia (Pridnestrovian Moldavian Republic/PMR). Deklarasi ini ditolak oleh Moldova dan tidak mendapat pengakuan internasional.
Perang Transnistria 1992
Konflik bersenjata pecah pada 1992 setelah Moldova mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet. Moldova berusaha merebut kembali kendali atas Transnistria, namun milisi separatis yang didukung langsung oleh Tentara ke-14 Rusia melakukan perlawanan sengit.
Perang ini memakan korban ratusan jiwa sebelum akhirnya gencatan senjata tercapai pada Juli 1992 dengan mediasi Rusia. Sejak saat itu, Transnistria beroperasi sebagai wilayah de facto merdeka dengan pemerintahan, militer, dan mata uangnya sendiri, meskipun secara hukum diakui sebagai bagian dari Moldova.
Peran dan Dukungan Rusia
Rusia memainkan peran kunci dalam menjaga status quo Transnistria, baik melalui dukungan militer, ekonomi, maupun politik. Dukungan tersebut meliputi:
Militer: Rusia menempatkan pasukan penjaga perdamaian sejak berakhirnya konflik 1992 dan menjaga keberadaan pangkalan militer di Transnistria.
Ekonomi: Rusia memberikan subsidi energi dan bantuan finansial yang signifikan kepada Transnistria.
Politik: Rusia secara aktif mendukung Transnistria dalam forum internasional, meskipun belum mengakuinya sebagai negara merdeka secara resmi.
Banyak pengamat menilai bahwa dukungan Rusia terhadap Transnistria adalah bagian dari strategi geopolitik Moskow untuk menekan Moldova agar tidak mendekat ke Uni Eropa dan NATO.
Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Mata Uang
Transnistria mengoperasikan sistem politik dan ekonomi yang terpisah dari Moldova. Wilayah ini memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari presiden, parlemen, dan konstitusi. Bahkan, Transnistria memiliki mata uang unik, Rubel Transnistria, yang hanya berlaku di wilayah tersebut dan tidak diakui secara internasional.
Ekonomi Transnistria didominasi oleh:
-Industri berat dan manufaktur, terutama pabrik baja dan tekstil.
-Ekspor terbatas, dengan ketergantungan tinggi pada Rusia.
-Isolasi internasional, yang membuat Transnistria rentan terhadap krisis ekonomi akibat kurangnya akses ke pasar global.
Konflik Beku dan Ketidakpastian Masa Depan
Transnistria dianggap sebagai konflik beku (frozen conflict), di mana pertempuran bersenjata telah berhenti namun solusi politik belum tercapai. Hingga kini, tidak ada negara anggota PBB yang mengakui kemerdekaan Transnistria secara resmi.
Pemerintah Moldova terus mengklaim Transnistria sebagai bagian dari wilayahnya, sementara otoritas Transnistria menolak integrasi dengan Moldova. Mediasi dan negosiasi yang melibatkan Rusia, Uni Eropa, dan OSCE (Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa) belum menghasilkan solusi yang memuaskan.
Transnistria tetap menjadi salah satu konflik beku yang paling kompleks di Eropa Timur dengan peran signifikan dari Rusia dalam menjaga status quo wilayah ini.
Konflik yang berakar pada perpecahan etnis dan geopolitik ini masih menjadi tantangan besar bagi stabilitas kawasan, terutama dalam konteks hubungan Moldova, Rusia, dan Uni Eropa.
Selama Rusia terus mempertahankan pengaruhnya di wilayah tersebut, penyelesaian konflik Transnistria diprediksi akan tetap menjadi tantangan besar bagi keamanan regional di masa depan.