February 6, 2025

Mengapa Kebanyakan Orang Jawa Tidak Memiliki Marga? Sejarah, Filosofi, dan Faktor Sosial yang Mendasarinya

  • January 14, 2025
  • 4 min read
Mengapa Kebanyakan Orang Jawa Tidak Memiliki Marga? Sejarah, Filosofi, dan Faktor Sosial yang Mendasarinya

Jakarta, Gatranews.id – Masyarakat Jawa dikenal dengan sistem penamaan yang unik, di mana kebanyakan orang tidak memiliki marga atau nama keluarga yang diwariskan secara turun-temurun.

Berbeda dengan suku Batak, Minahasa, atau Ambon yang menggunakan marga sebagai identitas keluarga besar, masyarakat Jawa umumnya hanya menggunakan nama tunggal atau dua kata tanpa menunjukkan garis keturunan secara eksplisit.

Fenomena ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang, dipengaruhi oleh sistem sosial, filosofi hidup, serta perubahan budaya sejak zaman kerajaan hingga era modern.

Salah satu alasan utama mengapa masyarakat Jawa tidak menggunakan marga adalah karena filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan dan individualitas.

Nama dalam masyarakat Jawa biasanya dirancang untuk mencerminkan harapan dan doa orang tua terhadap anak, seperti “Slamet” yang berarti selamat atau “Sri” yang melambangkan kemakmuran.

Penggunaan nama tunggal ini mencerminkan identitas personal yang mandiri, di mana seseorang dihargai berdasarkan karakter dan pencapaiannya, bukan karena garis keturunannya.

Tidak adanya marga juga berkaitan dengan konsep “manunggaling kawula gusti,” yaitu kesatuan manusia dengan Sang Pencipta yang menekankan prinsip kesederhanaan dan kesetaraan.

Pengaruh struktur sosial pada masa kerajaan juga turut membentuk tradisi ini. Pada era Majapahit, Mataram Kuno, hingga Kesultanan Yogyakarta, masyarakat terbagi dalam beberapa lapisan, seperti bangsawan (priyayi), rakyat biasa, dan abdi dalem.

Kalangan bangsawan atau priyayi biasanya memiliki nama dengan gelar seperti “Raden,” “Mas,” atau “Tumenggung” yang menunjukkan status sosial tinggi.

Sebaliknya, rakyat biasa atau wong cilik hanya menggunakan nama tunggal tanpa gelar atau marga sebagai bentuk kesetaraan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem ini sengaja dipertahankan untuk menjaga hierarki sosial yang ketat, di mana gelar hanya diberikan kepada keturunan darah biru atau mereka yang berjasa besar terhadap kerajaan.

Pengaruh ajaran Hindu yang mendominasi era Majapahit dan Mataram Kuno turut memperkuat tradisi ini. Dalam sistem Hindu-Jawa, konsep karma dan dharma menekankan identitas individu berdasarkan perbuatan dan kontribusinya terhadap masyarakat, bukan sekadar garis keturunan.

Meski dalam tradisi Hindu India dikenal adanya kasta dan nama keluarga, adaptasi ajaran ini di Jawa lebih menekankan prinsip egaliter yang akhirnya menghilangkan kebutuhan akan marga dalam penamaan.

Masuknya ajaran Islam pada abad ke-15 semakin memperkuat konsep kesetaraan dalam masyarakat Jawa. Islam yang diadopsi oleh kerajaan seperti Demak dan Mataram Islam mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan.

Hal ini membuat marga yang mencerminkan status sosial dianggap tidak terlalu penting. Prinsip kesederhanaan dalam Islam juga membuat banyak masyarakat Jawa hanya menggunakan nama depan dengan makna religius, seperti “Ahmad,” “Muhammad,” atau “Soleh.”

Pengaruh kolonialisme Belanda pada abad ke-19 juga memainkan peran penting dalam menghilangkan sistem marga di kalangan masyarakat Jawa.

Pemerintah kolonial menerapkan sistem pencatatan sipil yang hanya mencantumkan nama individu tanpa memprioritaskan garis keturunan.

Kebijakan ini dibuat untuk menyederhanakan proses administrasi dan menghindari pengelompokan masyarakat yang dapat mengganggu kontrol kolonial.

Konsep nama dalam budaya Jawa juga lebih berfungsi sebagai harapan dan doa, bukan penanda garis keturunan. Nama seperti “Sri,” “Slamet,” atau “Sutopo” dipilih karena memiliki makna filosofis yang positif, dengan harapan membawa keberuntungan bagi si pemilik nama.

Tradisi ini menekankan bahwa identitas seseorang lebih didasarkan pada nilai spiritual dan filosofis daripada garis keturunan yang diwariskan.

Ketika dibandingkan dengan suku yang menggunakan marga, seperti Batak, Minahasa, dan Ambon, terdapat perbedaan mendasar dalam sistem kekerabatan.

Suku Batak, misalnya, menggunakan sistem patrilineal yang menekankan garis keturunan ayah, sehingga marga seperti “Siregar,” “Hutabarat,” atau “Nasution” diwariskan turun-temurun. Sistem marga pada suku-suku tersebut berfungsi untuk memperkuat ikatan keluarga besar, melestarikan silsilah leluhur, dan mempermudah identifikasi kekerabatan.

Sebaliknya, masyarakat Jawa lebih menekankan hubungan berbasis komunitas dan kesamaan budaya daripada hubungan darah semata.

Meskipun sebagian besar masyarakat Jawa tidak menggunakan marga, ada pengecualian di kalangan bangsawan atau keturunan keraton.

Di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta, keluarga kerajaan tetap mempertahankan garis keturunan dengan menggunakan gelar dan nama keluarga yang diwariskan, seperti “Notonegoro,” “Suryaningrat,” atau “Hamengkubuwono.” Gelar-gelar tersebut tidak hanya mencerminkan keturunan, tetapi juga tanggung jawab dalam menjaga adat dan budaya Jawa.

Tidak adanya marga dalam budaya Jawa merupakan hasil dari perpaduan filosofi hidup, sejarah sosial, dan pengaruh agama yang menekankan kesetaraan, kesederhanaan, dan spiritualitas.

Sistem penamaan yang lebih individualis ini mencerminkan identitas personal yang kuat dengan makna filosofis yang mendalam, berbeda dengan suku-suku lain yang menggunakan marga sebagai penanda identitas kelompok dan garis keturunan.

Meski demikian, sistem penamaan ini tetap menjadi salah satu kekayaan budaya yang memperlihatkan keragaman cara pandang dalam memahami identitas dan hubungan sosial di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *