Permahi Kritik Vonis Hakim Terhadap Mardani H Maming yang Dinilai Tidak Berdasar

Jakarta, Gatranews.id – Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN PERMAHI) menilai bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor Banjarmasin telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum terhadap mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Ketua Umum Permahi, Fahmi Namakule, menyatakan bahwa penerapan hukum dalam kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) harus memenuhi prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disampaikannya pada Senin (04/11/2024).
Menurut Fahmi, terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang dialami Mardani H Maming, mulai dari pemeriksaan awal dan penetapan tersangka, kurangnya saksi ahli dalam penyelidikan, hingga keputusan hakim dalam putusan nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm.
Penetapan Mardani sebagai tersangka terkesan tergesa-gesa. Pada 9 Juli 2022, KPK mulai menyelidiki dugaan gratifikasi terkait izin usaha pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu, dan hanya dalam waktu seminggu, kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan. Pada 16 Juni 2022, Mardani dinyatakan sebagai tersangka meski belum ada pemeriksaan saksi atau bukti yang cukup.
Dalam kasus terkait kebijakan administrasi, biasanya KPK memanggil saksi ahli di bidang administrasi dan perizinan untuk mengklarifikasi kewenangan bupati. Namun, prosedur tersebut tidak dilakukan dalam penyelidikan kasus gratifikasi yang menjerat Mardani.
Selain itu, terdapat indikasi penghambatan terhadap proses praperadilan yang diajukan oleh Mardani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 25 Juli 2022, sehari sebelum sidang praperadilan, KPK mengeluarkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk Mardani meskipun ia telah menyatakan akan hadir dalam sidang pada 28 Juli 2022.
Penetapan DPO ini dianggap sebagai tindakan mengejutkan yang tidak sesuai dengan ketentuan SEMA Nomor 1 Tahun 2018, yang melarang buronan mengajukan praperadilan. Hal ini dinilai membatasi hak terdakwa untuk memperoleh proses hukum yang terbuka dan adil, yang berpotensi melanggar konstitusi dan hak asasi Mardani.
Fahmi menambahkan bahwa penerapan pasal 93 UU Minerba terhadap Mardani dianggap keliru, karena pasal tersebut ditujukan kepada pemegang IUP, bukan kepala daerah yang memiliki wewenang administratif terkait perizinan. “Jelas bahwa sebagai Bupati Tanah Bumbu, Mardani memiliki wewenang untuk mengelola perizinan, bukan sebagai pemegang IUP,” ujar Fahmi.
Ia juga menyoroti bahwa SK Bupati yang dijadikan dasar tuduhan telah dinyatakan sah secara administratif oleh Kementerian ESDM melalui sertifikat clear and clean (CNC) selama lebih dari 11 tahun. Namun, fakta ini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Menurut Fahmi, jika dakwaan tidak dapat dibuktikan secara hukum, maka seharusnya terdakwa dibebaskan dan nama baiknya dipulihkan. Namun, majelis hakim memiliki pandangan berbeda yang dianggap melukai rasa keadilan masyarakat.
Sebagai upaya advokasi, Permahi berencana mengajukan pandangan resmi kepada majelis hakim dalam proses peninjauan kembali (PK) sebagai Amicus Curiae.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses peradilan tetap bersih, profesional, dan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.