Amicus Curiae: Meninjau Peran Sahabat Pengadilan dalam Sistem Hukum Indonesia
Jakarta, Gatranews.id – Istilah amicus curiae atau “sahabat pengadilan” menjadi perbincangan hangat di publik ketika Mahkamah Konstitusi menggelar persidangan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dalam konteks hukum, amicus curiae merujuk pada individu atau organisasi yang, meski tidak terlibat langsung dalam suatu perkara, diberikan izin oleh pengadilan untuk memberikan informasi, keahlian, atau wawasan terkait masalah hukum yang dihadapi.
Istilah ini semakin diperjelas dalam sebuah buku yang ditulis oleh Rivan Achmad Purwantono, guru besar hukum dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan Sulaiman N. Sembiring, seorang advokat dan konsultan hukum senior. Dalam buku tersebut, kedua penulis menggali lebih dalam tentang makna, kedudukan, dan potensi penguatan peran amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia.
“Melalui buku ini, kedua penulis berupaya dan berusaha menjelaskan makna, definisi, serta kedudukan sahabat pengadilan dalam sistem hukum di Indonesia.” ujar Rizky Fajar, penulis di Spora Communications.
Dalam buku ini, Rivan dan Sulaiman berpendapat bahwa penguatan kedudukan amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia adalah hal yang perlu dilakukan. Menurut mereka, hukum harus bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Penguatan peran amicus curiae dianggap mampu memperkaya proses hukum, membantu hakim dalam membuat keputusan yang lebih tepat, dan menjadi bagian dari upaya mencapai keadilan yang berlandaskan kepastian hukum dan kemanfaatan.
“Penguatan posisi amicus curiae juga merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat,” tulis mereka dalam bukunya.
Peran amicus curiae bukanlah sesuatu yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Sejumlah kasus besar yang melibatkan amicus curiae telah terjadi sebelumnya. Salah satu contohnya adalah kasus antara Majalah Time dan mantan Presiden Soeharto pada 1999. Soeharto menggugat majalah Time yang menuduhnya telah menimbun kekayaan selama masa jabatannya.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sejumlah aktivis hak asasi manusia dan kebebasan pers dari dalam dan luar negeri bertindak sebagai amicus curiae. Mereka memberikan pandangan yang turut memengaruhi keputusan hakim untuk menolak gugatan Soeharto dan menyatakan bahwa pemberitaan Time tidak melanggar hukum.
Selain itu, buku ini juga membahas 29 kasus lain di Indonesia di mana peran amicus curiae sangat signifikan. Misalnya, dalam sidang pidana Bharada E dalam kasus Ferdy Sambo serta kasus Baiq Nuril di Mataram, yang mendapat perhatian publik karena melibatkan isu pelecehan seksual dan perekaman percakapan telepon oleh seorang guru.
Tidak hanya di Indonesia, amicus curiae juga memainkan peran penting dalam berbagai sistem hukum di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, ada kasus Abigail Fisher vs University of Texas pada 2016 yang melibatkan isu diskriminasi dalam penerimaan mahasiswa. Di Kanada, peran amicus curiae terlihat dalam kasus Carter vs Kanada pada 2015 yang membahas isu eutanasia. Sementara di Inggris, peran sahabat pengadilan muncul dalam kasus Brexit yang berujung pada penangguhan parlemen oleh Perdana Menteri Boris Johnson pada 2019.
Buku karya Rivan Achmad Purwantono dan Sulaiman N. Sembiring ini tidak hanya memberikan pemahaman mendalam tentang amicus curiae, tetapi juga mengusulkan perlunya penguatan peran sahabat pengadilan di Indonesia. Melalui penguatan ini, sistem hukum Indonesia diharapkan bisa lebih responsif, inklusif, dan mampu menjawab tantangan hukum modern.
“Melalui buku ini, kedua penulis berupaya menjelaskan kronologis kasus-kasus tersebut secara runut dan sistematis,” jelas Rizky Fajar, penulis dari Spora Communications. Hal ini bertujuan agar pembaca memahami besarnya peran amicus curiae dalam memberikan pandangan, data, dan fakta hukum kepada majelis hakim di beberapa kasus.