December 9, 2024

Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air: Kekerasan Preman dan Tanggung Jawab Negara

  • September 30, 2024
  • 2 min read
Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air: Kekerasan Preman dan Tanggung Jawab Negara

Jakarta, Kompas.com – Peristiwa pembubaran paksa diskusi bertajuk Silaturahmi Kebangsaan Diaspora yang diselenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di kawasan Kemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada 28 September 2024, memicu perbincangan luas. Acara yang menghadirkan sejumlah tokoh dan aktivis nasional ini dibubarkan oleh sekelompok orang yang diduga preman, menyebabkan kericuhan yang dianggap tragis dan memalukan.

Menurut Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih, insiden ini memperlihatkan kurangnya persiapan dan pelatihan untuk menghadapi konflik secara damai. “Negara kita bukanlah cerminan cita-cita damai, kerjasama, dan saling menghormati. Kita dihadapkan pada kenyataan tentang pengetahuan praktis menangani konflik yang terjadi setiap hari,” ujarnya.

Sutoyo juga menyoroti aksi kekerasan dalam pembubaran tersebut sebagai tindakan yang tidak bisa diterima. Ia menyebut tindakan premanisme yang dilakukan dengan kekerasan itu sebagai perbuatan licik, manipulatif, dan barbar. “Sayangnya, tidak ada antisipasi pengamanan. Seolah-olah ada ketakutan untuk menghentikan tindakan anarkis tersebut,” tambahnya.

Dalam pembubaran tersebut, peserta diskusi yang sebagian besar merupakan intelektual memilih untuk tidak melawan. Mereka digambarkan seolah berhadapan dengan sosok yang menakutkan dan tidak bisa dilawan, meskipun kekerasan dilakukan secara terbuka tanpa hambatan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya respons yang tegas dari pihak kepolisian, yang menurut Sutoyo tampak “bersahabat” dengan para pelaku setelah kejadian.

Din Syamsuddin Disorot

Kehadiran Din Syamsuddin, tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), juga menjadi sorotan dalam insiden ini. Di media sosial, kehadirannya diframing sebagai salah satu inisiator diskusi, yang oleh beberapa pihak dinilai berpotensi merusak stabilitas negara. Isu ini semakin memperkeruh suasana dan menjadi alasan yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membubarkan acara.

Kejadian ini, menurut Sutoyo, sepenuhnya menjadi tanggung jawab FTA. Ia menegaskan bahwa FTA, bersama dengan pihak kepolisian, harus bisa mengungkap aktor-aktor di balik pembubaran tersebut. Transparansi dalam mengungkap dalang di balik kekerasan ini penting untuk mencegah insiden serupa terjadi di masa mendatang.

Stigma Buruk ke Depan

Sutoyo mengkhawatirkan bahwa kejadian ini akan menjadi preseden buruk, di mana setiap pertemuan intelektual berpotensi dibubarkan dengan alasan yang sama, tanpa adanya perlawanan. Ketakutan dan ilusi mengenai siapa yang bisa dilawan dan siapa yang tidak, menurutnya, hanya akan memperburuk situasi kebebasan berpendapat di Indonesia.

“Jika ini dibiarkan, stigma bahwa diskusi intelektual bisa dibubarkan dengan mudah akan terus melekat. Penting untuk mengevaluasi bagaimana negara menangani konflik tanpa kekerasan dan memastikan ruang dialog tetap terbuka,” tutupnya.

Peristiwa ini sekali lagi menegaskan pentingnya keterlibatan aparat hukum dalam memastikan keamanan dan kenyamanan dalam setiap aktivitas publik, terutama yang melibatkan diskusi intelektual dan kebangsaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *