PP Nomor 28 Tahun 2024 Sisakan Tantangan Kesehatan Bayi
Jakarta, Gatranews.id – Pemberlakuan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mendapat sambutan positif dari masyarakat. Regulasi ini dinilai mampu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, dan mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia.
Namun, sejumlah tantangan masih harus dihadapi. PP Nomor 28 Tahun 2024 diakui telah mengatur berbagai aspek dalam sistem kesehatan Indonesia. Mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif, serta memberikan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam menyatakan bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 merupakan langkah penting untuk mewujudkan amanah UUD 1945.
“Kami mengapresiasi niat baik pemerintah dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (26/9).
Baca juga: Castrol Indonesia Luncurkan Kampanye “Oli No. 1 Dunia”, Dukung Talenta Muda di MotoGP
Meski demikian, Piter menilai bahwa masih ada tantangan besar dalam mengimplementasikan PP tersebut. Salah satu tantangan terbesar adalah penerapan materi Undang-Undang Kesehatan ke dalam aturan pelaksanaan yang lebih rinci.
Menurutnya, ada potensi kebingungan dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi upaya edukasi kesehatan dan bahkan sektor ekonomi.
PP Nomor 28 Tahun 2024 mengatur bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif hingga usia enam bulan. Kecuali, ada indikasi medis. Aturan ini sejalan dengan pedoman WHO, yang mengizinkan penggunaan susu formula jika ASI eksklusif tidak bisa diberikan.
Piter menyebut bahwa aturan ini merupakan konfirmasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi berusia 0-6 bulan dalam kondisi tertentu.
Indonesia telah berhasil mengimplementasikan pedoman WHO Code terkait pemasaran produk pengganti ASI. Berdasarkan laporan Marketing of BMS: National Implementation of the International Code Status Report 2020, Indonesia mencatatkan capaian 50% dalam implementasi kode tersebut. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asia (41%) dan dunia (11%).
Meskipun demikian, keberadaan susu formula dan upaya mendorong pemberian ASI eksklusif seharusnya tidak dipertentangkan. Peraturan baru ini juga tidak perlu mengubah ketentuan tentang promosi susu formula yang sudah diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 1999.
Piter juga menyoroti pentingnya edukasi nutrisi bagi masyarakat, terutama mengingat angka prevalensi stunting di Indonesia yang masih tinggi. Angka pemberian ASI eksklusif terus meningkat dari 68,84% pada 2020 menjadi 73,9% pada 2023. Penurunan angka prevalensi stunting melambat, hanya turun 0,1% pada 2023 menjadi 21,5%.
Piter menambahkan, di tengah peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan, diperlukan akses yang lebih baik terhadap produk dan informasi nutrisi untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Ia berharap pemerintah bisa menjaga momentum ini untuk memperbaiki status kesehatan dan perekonomian, terutama dengan regulasi yang kondusif.
Terkait kondisi ekonomi, data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa hingga 2024, 46 ribu pekerja di sektor manufaktur telah terkena PHK, dengan industri tekstil, garmen, dan alas kaki menjadi sektor yang paling terdampak.