Fahri Hamzah: Keputusan MK Memperkuat Otonomi Daerah dan Menyusun Ulang Lanskap Pilkada 2024
Jakarta, Gatranews.id – Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Rakyat (Gelora) Indonesia, menegaskan bahwa keputusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah telah mengubah secara signifikan lanskap Pilkada 2024 di berbagai daerah. Menurut Fahri, keputusan ini tidak hanya memperkuat otonomi daerah (otda) tetapi juga memastikan bahwa setiap suara rakyat dihitung dengan adil, tidak hanya suara dari kursi di parlemen.
Dalam diskusi Gelora Talk dengan tema “Pilkada, Otonomi Daerah, dan Percepatan Pembangunan di Era Prabowo-Gibran,” yang berlangsung pada Rabu (4/9) sore, Fahri Hamzah menyampaikan, “Kotak kosong pecah menjadi suara-suara yang berserakan, dan kandidat bertambah banyak di mana-mana. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lain atau tidak bukan dalam rangka memperkuat partisipasi rakyat. Partisipasi ini juga adalah dalam rangka memastikan bahwa otonomi daerah itu lebih bermakna.”
Fahri Hamzah menggarisbawahi bahwa perubahan yang dihadirkan oleh keputusan MK memberikan dorongan yang sangat penting bagi otda untuk mempercepat pembangunan, terutama dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Namun, dia juga mengingatkan agar penerapan otda pasca-Pilkada 2024 tidak menimbulkan hambatan dalam proses pembangunan, khususnya yang terkait dengan potensi munculnya ‘raja-raja kecil’ di daerah yang dapat mempengaruhi dinamika pembangunan.
“Seharusnya pemimpin-pemimpin baru yang dipilih dari Pilkada 2024 dapat mewujudkan Indonesia untuk tumbuh menjadi negara industri yang lebih maju atau menuju Indonesia Emas 2045,” tegas Fahri Hamzah. Dia juga menekankan perlunya strategi untuk meningkatkan pendapatan per kapita nasional agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, atau bahkan pertumbuhan dua digit, dapat tercapai selama era pemerintahan Prabowo-Gibran.
Fahri Hamzah juga mengusulkan agar Pilkada gubernur dihapuskan dan diganti dengan penunjukan langsung, karena menurutnya, gubernur seharusnya berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sementara itu, Pilkada di kabupaten/kota sebaiknya tetap dilaksanakan untuk mendukung desentralisasi yang efektif.
Dia juga mencatat ketidakkompakan antara gubernur dan bupati/walikota yang sering kali menghambat pembangunan serta pelayanan publik. “Posisi gubernur ini dilematis, terkadang juga menggangu pemerintah pusat seperti di Jakarta, karena beda partai. Sekarang oposisi di Pilkada gubernur di Jawa Tengah juga sudah mulai bergerak. Pilkada gubernur yang berbau politis, seharusnya bisa dikurangi. Pemerintahan Prabowo ini akan berlari kencang. Kalau sopirnya berlari kencang, maka gandengannya juga harus sama, sehingga ada percepatan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Fahri Hamzah.
Distribusi Kewenangan dan Akselerasi Pembangunan
Pengamat politik Andi Alfian Malarangeng menyatakan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan otda adalah untuk mendistribusikan kewenangan dan mempercepat pembangunan di daerah, serta memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam kerangka demokrasi. “Tren yang ada sekarang di dunia itu, membuat provinsi dan memilih gubernur seperti di Prancis. Tadinya tidak ada itu provinsi, yang ada kabupaten/kota, tapi kemudian dibentuk provinsi, dilakukan distribusi keuangan dan kewenangan,” kata Andi Malarangeng.
Sebagai anggota tim pakar penyusun otda bersama Prof Ryas Rasyid, Andi Malarangeng berpendapat bahwa pelaksanaan Pilkada gubernur tetap penting untuk mendukung distribusi kewenangan dan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. “Menurut saya, jangan terus disalahin pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah, sehingga terkadang menimbulkan perselisihan. Tetapi pemerintah pusat juga salah, karena norma-norma standarnya, pasal-pasalnya belum dibuat sampai sekarang, soal distribusi kewenangan itu,” tegasnya.
Andi Malarangeng, yang kini aktif sebagai politisi Partai Demokrat, juga menilai bahwa gubernur yang dipilih melalui Pilkada di 38 provinsi akan mempermudah koordinasi dengan bupati/walikota di 514 kabupaten/kota. Dia mengusulkan agar pemilihan gubernur dapat dilakukan melalui DPRD untuk mengurangi potensi konflik politik. “Kalau pemerintah secara langsung mengurusi itu, agak susah membayangkan. Kalau mau meniadakan Pilkada gubernur, pemilihannya bisa melalui DPRD. Judulnya tetap daerah otonom, tapi pemilihannya melalui DPRD. Itu memang ada wacana seperti itu, gubernurnya di DPRD, sedangkan kabupaten/kotanya langsung,” ujarnya.
Andi Malarangeng berharap agar otda tetap diterapkan dengan disertai evaluasi berkala untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam konteks demokrasi dan desentralisasi.
Djohermansyah Djohan, mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman etnis dan populasi yang besar memerlukan penerapan otda untuk pengelolaan yang lebih efisien. “Sehingga undang-undang mengamanatkan, Indonesia harus diurus dengan otonomi daerah, dan harus dibagi dengan pemerintah daerah. Konsepnya membangun Indonesia dengan tata kelola sendiri. Gampangnya, menumbuhkan demokrasi lokal di daerah, dan Pak Jokowi salah satu contoh kaderisasi yang tumbuh di daerah,” kata Djohermansyah.
Melalui konsep otda, semua daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, memiliki hak untuk memilih pemimpin eksekutif (gubernur, bupati/walikota) serta legislatif (DPRD), sementara pemerintah pusat tetap menjalankan fungsi pembinaan dan supervisi. “Sekarang yang perlu dirapikan adalah soal kepartaian, rekrutmen kepemimpinan yang maju di Pilkada. Agar pemimpin yang maju betul-betul pemimpin yang berkapasitas dan berkompeten, serta berintegritas, jangan hanya karena isi tas,” tambahnya.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menekankan pentingnya ‘unity of the leader’ untuk mempercepat pembangunan. “Pak Prabowo ingin semua elite bersatu, karena tanpa adanya persatuan, stabilitas dan solidaritas, nggak mungkin ada akselerasi pembangunan di daerah dan bisa tercapai dengan baik,” kata Anggawira.
HIPMI merekomendasikan perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dan revisi undang-undang politik untuk menciptakan sistem meritokrasi, sehingga hanya individu terbaik yang dapat memimpin. “Kalau kami di HIPMI, membatasi ketua umum hanya bisa dipilih satu kali, tidak bisa dua kali. Karena kami ingin ada regenerasi dan menciptakan kader-kader pemimpin. HIPMI adalah organisasi kader, dan kami ingin memberikan contoh,” tandasnya.