Bank Mandiri Diduga Terlibat Praktik Mafia Tanah, Warga Cikini Menuntut Keadilan

Jakarta, Gatranews.id – Kasus dugaan praktik mafia tanah oleh lembaga pemerintah mengguncang masyarakat Cikini. Masyarakat yang telah menempati pemukiman di kawasan tersebut selama puluhan tahun kini menghadapi ancaman penggusuran setelah keputusan pengadilan yang diduga cacat hukum.
Warga Cikini yang telah memiliki dokumen kepemilikan sah dan taat membayar pajak, kini terancam kehilangan tempat tinggal akibat eksekusi lahan oleh PT Bank Mandiri. Pengadilan Tinggi diduga tidak menjalankan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 2001 mengenai pemeriksaan setempat (descente) dan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk pengukuran objek perkara.
Keputusan pengadilan yang memberikan hak kepada Bank Mandiri atas sebidang tanah ex-eigendom Nomor 408 di Jalan Cikini Raya, Kelurahan Gambir seluas 10.000 meter persegi, ternyata tidak mencerminkan fakta lapangan. BPN menyatakan bahwa status tanah tersebut sebagai tanah negara tidak berlaku.
Warga sekitar, seperti Cici dari Kalipasir, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penggusuran.
“Kami belum pernah menerima pemberitahuan resmi mengenai penggusuran ini. Kami khawatir akan dampaknya terhadap kesejahteraan dan mental kami,” ujarnya.
Ketua RT 10/RW 01, Andi Alfrizal, juga mengungkapkan keprihatinan. “Kami berharap eksekusi dilakukan dengan adil dan tanpa menimbulkan keributan,” kata Andi, yang menambahkan bahwa ada 50 kepala keluarga dan sekitar 20 bangunan di area tersebut.
Pernyataan dari pihak pengadilan yang mengklaim tidak pernah melaksanakan sidang di tempat di lokasi yang dipermasalahkan, seperti diungkapkan oleh Andi Alfrizal, menambah ketidakpastian.
Di sisi lain, PT Mitra Mata yang merupakan pemilik gedung di Jalan Kali Pasir No. 16 menolak rencana eksekusi yang dianggap keliru. H. Yohanes, perwakilan PT Mitra Mata, menilai keputusan pengadilan yang mengklaim hak Bank Mandiri atas lahan di Jalan Cikini Raya tidak sesuai dengan lokasi eksekusi yang diputuskan di Jalan Kali Pasir. “Ini adalah tindakan semena-mena yang harus dilawan,” tegas Yohanes.
Kuasa hukum PT Mitra Mata, Suryantara, mengecam rencana eksekusi ini sebagai pelanggaran hukum. “Pengadilan tidak menjalankan prosedur yang benar dalam menentukan objek eksekusi,” ujarnya. Suryantara menambahkan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan penangguhan eksekusi dan perlindungan hukum ke berbagai pihak, termasuk Kementerian Keuangan yang menyatakan bahwa lahan tersebut bukan aset negara.
Selain itu, Suryantara mengungkapkan bahwa eksekusi ini tidak hanya salah secara lokasi tetapi juga melanggar prosedur hukum. “Pengadilan tidak melibatkan BPN untuk mengukur objek sengketa, menunjukkan bahwa eksekusi ini dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu,” jelasnya.
PT Mitra Mata bersama masyarakat Cikini akan menolak eksekusi pada 28 Agustus 2024. Mereka juga telah mengajukan pengaduan ke Kemenko Polhukam dan menuntut keadilan.
“Kami akan terus memperjuangkan hak kami sampai titik darah penghabisan,” ujar Yohanes.
Kekecewaan masyarakat semakin mendalam karena eksekusi yang salah alamat ini menunjukkan adanya praktik mafia tanah yang justru dilakukan oleh lembaga pemerintah. Keberanian masyarakat dan PT Mitra Mata untuk melawan ketidakadilan ini menjadi sorotan dan harapan baru dalam upaya memberantas mafia tanah di Indonesia.