Perbaikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemerintah Serap Aspirasi Berbagai Pihak
Jakarta, Gatranews.id – Dengan pesatnya kemajuan teknologi dan dinamika yang terus berubah, pemerintah perlu menyesuaikan aturan dan kebijakan agar tetap relevan dan efektif.
Salah satu regulasi yang tengah menjadi sorotan adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Sudah lebih dari satu dekade sejak UU ini diterbitkan, dan kini saatnya untuk melakukan penyesuaian agar tetap sesuai dengan kebutuhan zaman.
“UU KIP mengatur kewajiban badan publik untuk mempublikasikan informasi publik secara proaktif. Ini adalah langkah yang bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kepentingan lain secara sah. Regulasi ini juga mengatur mekanisme permintaan informasi publik oleh pemohon informasi sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional.” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Usman Kansong dalam Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D yang berlangsung di Jakarta pada 13 Agustus 2024.
Dalam konteks global, penyesuaian dan perubahan terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi, atau dikenal juga sebagai Freedom of Information Act (FOIA), telah terjadi di berbagai negara sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka.
Contohnya, Amerika Serikat melakukan pembaruan signifikan pada tahun 2016 untuk meningkatkan aksesibilitas informasi secara digital serta memperkuat kewajiban pemerintah dalam merilis data yang diperlukan oleh publik.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) telah aktif menyelenggarakan diskusi-diskusi mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan terkait isu-isu keterbukaan informasi publik.
Ditjen IKP juga menyusun draf naskah akademik untuk revisi UU KIP, yang didukung oleh Pusat Studi Kebijakan Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
“Semoga langkah awal ini bisa mewujudkan UU KIP yang bisa mengakomodasi kepentingan setiap pihak yang terlibat di dalamnya, dan tentunya lebih tepat guna untuk memenuhi hak publik mendapatkan informasi publik dan menciptakan meaningful participation,” ungkap Usman Kansong.
Aspirasi dan masukan mengenai revisi UU KIP telah dikelompokkan dalam beberapa kluster oleh Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Hasyim Gautama. Kluster-kluster tersebut meliputi berbagai aspek penting seperti pengelolaan informasi publik, peran Komisi Informasi (KI), serta proses penyelesaian sengketa.
“Kami membentuk kluster-kluster temuan masalah untuk revisi UU KIP ini. Seperti terkait dengan pemohon dan badan publik, proses pengelolaan informasi publik, termasuk Komisi Informasi (KI), informasi publik, penyelesaian sengketa, dan pasal-pasal spesifik yang perlu direvisi,” jelas Hasyim.
Proses revisi ini melibatkan aktivitas pengumpulan data dan Focus Group Discussion (FGD) yang telah dimulai sejak tahun 2023.
Pada tanggal 15 Desember 2023, Ketua Komisi Informasi Pusat menyerahkan salinan naskah kajian UU KIP kepada Menteri Kominfo, yang akan menjadi bagian dari usulan pemerintah untuk revisi.
Sementara itu, penelitian terkait revisi UU KIP masih berlangsung. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Wicaksana Dramanda, mengidentifikasi beberapa celah dalam UU KIP yang perlu diperbaiki.
“Seperti perusahaan yang mendapatkan konsesi negara, seharusnya memiliki fungsi layanan publik. Tetapi karena tidak didanai oleh APBN atau APBD maka dikecualikan oleh entitas badan publik yang harus terikat oleh UU KIP,” jelas Wicaksana.
Masalah lain yang perlu diperbaiki termasuk ruang lingkup pemohon informasi yang terbatas, adanya Vexatious Request (permintaan yang menyusahkan), waktu penyediaan informasi yang lama, klasifikasi informasi yang kompleks, dan ketiadaan pengaturan operasionalisasi uji konsekuensi.
Penegakan keterbukaan informasi juga belum optimal, terutama terkait kelembagaan KI yang perlu ditingkatkan efektivitasnya.
Arah pengaturan baru diharapkan dapat menjadikan UU KIP lebih relevan dengan menekan kendala yang ada. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Giri Ahmad Taufik, menyarankan perlunya perluasan ruang lingkup pemohon informasi dan badan publik, serta penyederhanaan klasifikasi informasi publik.
“Soal klasifikasi informasi publik, kami ingin menyederhanakan berdasarkan masukan. Jadi hanya dua kategori informasi, yaitu informasi publik yang wajib diumumkan dan yang wajib disediakan,” ungkap Giri.
Dalam proses revisi ini, masukan dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) juga sangat berharga. Kepala Bidang Informasi Publik, Dinas Kominfotik Provinsi DKI Jakarta, Raides Aryanto, menekankan perlunya klarifikasi dalam definisi dan batasan dalam draf revisi.
“Ketika warga negara asing diperbolehkan mengakses informasi publik, apakah ada syarat khusus? Apakah ada batasan objek permohonannya? Ini perlu diperjelas,” kata Raides.
Kepala Bagian Manajemen Pengelolaan Data dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan, Titi Susanti, juga menyoroti pentingnya menetapkan batasan dan ruang lingkup ketika memperluas definisi badan publik dan pemohon.
“Ada istilah baru yaitu badan yang dipersamakan namun memang perlu diatur batasannya. Karena untuk layanan informasi bisa jadi nantinya organisasi sekecil apapun atau mungkin yang tidak berbadan hukum sekalipun, sepanjang berkaitan dengan kepentingan publik, juga dituntut untuk menjalankan kewajiban dari UU ini. Kita perlu pahami apakah malah akan membuat ribet atau memudahkan di masa depan,” kata Titi.
Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D diselenggarakan oleh Direktorat Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik secara hybrid. Acara ini diharapkan dapat menjaring masukan konstruktif dari K/L/D untuk naskah akademik dan rancangan revisi UU KIP dan dihadiri oleh lebih dari 300 peserta, baik secara luring maupun daring.