January 14, 2025

Pemerintah Diminta Revisi Ayat Tentang Penyediaan Alat Kontrasepsi pada Remaja

  • August 8, 2024
  • 3 min read
Pemerintah Diminta Revisi Ayat Tentang Penyediaan Alat Kontrasepsi pada Remaja

Jakarta, Gatranews.id – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati, menegaskan perlunya revisi terhadap PP 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja.

Regulasi ini, yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (4) poin e, mencantumkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja mencakup penyediaan alat kontrasepsi.

Kurniasih menyoroti bahwa PP ini, yang merupakan bagian dari UU Kesehatan dengan pendekatan omnibus, justru berpotensi menimbulkan interpretasi yang berbahaya dan tidak menyederhanakan peraturan.

“Kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa aturan mengenai alat kontrasepsi ini dikhususkan bagi remaja yang sudah menikah, dengan teknisnya akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan,” jelas Kurniasih.

Namun, menurut Kurniasih, menunggu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tidak menyederhanakan regulasi sebagaimana yang dijanjikan oleh UU Kesehatan.

“Jika masih harus menunggu Permenkes, sama sekali tidak menyederhanakan regulasi. UU Kesehatan dibuat dengan sistem omnibus dengan dalih menyederhanakan regulasi, namun aturan turunannya malah harus berbelit-belit dan birokratis. Kita dorong untuk revisi di tingkat PP agar tidak menimbulkan tafsir liar,” ujar Kurniasih dalam keterangannya, Rabu (7/08).

Kurniasih mengkhawatirkan bahwa salah satu tafsir liar yang mungkin muncul adalah pembolehan remaja melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan menggunakan alat kontrasepsi atas nama pelayanan kesehatan reproduksi.

“Dari data yang ada, seks bebas di tingkat remaja semakin mengkhawatirkan dengan konsekuensi negatif yang semakin meningkat,” terang Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga ini.

Menurut data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 60% remaja usia 16-17 tahun, 20% remaja usia 14-15 tahun, dan 20% remaja usia 19-20 tahun telah melakukan hubungan seksual.

Kurniasih menambahkan bahwa salah satu dampak negatif dari seks bebas adalah tingginya angka aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan.

Data dari Guttmacher Institute pada tahun 2000 menunjukkan estimasi aborsi adalah 37 aborsi untuk setiap 1000 perempuan berusia 15-49 tahun, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di Asia.

Penelitian oleh Nurhafni pada tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95% terjadi pada remaja usia 15-25 tahun.

Di Indonesia, angka aborsi mencapai 2,5 juta kasus, dengan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja.

Di Bandung, 20% dari 1.000 remaja yang pernah melakukan seks bebas. Selain itu, kasus penyakit menular seksual juga meningkat.

Kementerian Kesehatan melaporkan peningkatan hampir 70% dalam kasus sifilis antara tahun 2018 hingga 2022.

Saat ini, terdapat sekitar 100.000 orang dengan HIV yang belum terdeteksi dan berpotensi menularkan penyakit tersebut.

Dari 526.841 orang dengan HIV, baru sekitar 429.215 yang mengetahui status mereka.

“Angka seks bebas yang naik pasti diikuti oleh ekses negatif seperti kasus aborsi dan penularan penyakit seksual yang naik. Ini kita bicara dari sisi kesehatan.” terangnya.

“Maka dibanding menunggu munculnya aturan turunan dari Kementerian, Pemerintah secara lugas dan jelas merevisi pasal penggunaan alat kontrasepsi bagi remaja sesegera mungkin,” tambahnya.

Revisi PP 28 Tahun 2024 ini diharapkan dapat memberikan regulasi yang lebih jelas dan mencegah interpretasi yang dapat membahayakan kesehatan dan moralitas remaja di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *