Sejarah Siti Manggopoh: Sang Singa Betina dari Minangkabau yang Menantang Belasting Belanda

Jakarta, Gatranews.id – Ketika membicarakan perjuangan perempuan dalam sejarah Indonesia, nama Siti Manggopoh sering kali terlewatkan. Padahal, perempuan asal Nagari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat ini pernah memimpin perlawanan besar terhadap Belanda pada tahun 1908.
Perlawanan itu dikenal dengan nama Perang Belasting, sebuah penentangan rakyat Minangkabau terhadap kebijakan pajak tanah yang kejam dan bertentangan dengan adat. Dari medan perjuangan itu, lahirlah julukan untuknya: “Singa Betina dari Minangkabau.”
Kehidupan Awal Siti Manggopoh
Siti Manggopoh lahir pada 1 Mei 1880. Ia tumbuh dalam budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah merupakan adat yang berlandaskan pada nilai Islam. Dalam sistem adat Minang, tanah bukan milik pribadi, melainkan milik kaum atau keluarga besar.
Masa mudanya berjalan sederhana. Ia menikah dengan seorang pria bernama Rasyid atau Bagindo Magek dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dalima. Tidak ada yang menyangka, perempuan dengan kehidupan biasa itu akan berubah menjadi salah satu ikon perlawanan rakyat.
Latar Belakang Perlawanan: Pajak Belasting
Pada awal abad ke-20, Belanda memberlakukan kebijakan pajak baru bernama belasting. Rakyat diwajibkan membayar pajak atas tanah yang mereka garap, bahkan meskipun tanah itu adalah tanah ulayat (milik kaum).
Bagi orang Minang, kebijakan ini bukan hanya memberatkan secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan tatanan adat. Mereka tidak rela tanah komunal yang diwariskan turun-temurun diperlakukan seperti milik individu yang bisa dikenai pajak.
Ketidakadilan inilah yang menyalakan api perlawanan. Di tengah keresahan masyarakat, nama Siti Manggopoh muncul sebagai motor penggerak.
Peran Siti Manggopoh sebagai Pemimpin
Mungkin banyak yang bertanya: bagaimana bisa seorang perempuan memimpin perlawanan bersenjata di tengah dominasi laki-laki?
Jawabannya ada pada keberanian, kecerdikan, dan ketulusan hati Siti Manggopoh. Ia berani maju ke depan, menyatukan rakyat, serta merancang strategi perang. Dalam budaya Minang yang sebenarnya menjunjung tinggi peran perempuan, keberanian Siti menjadi simbol bahwa kaum ibu pun bisa berdiri sejajar di medan perjuangan.
Perang Belasting 1908: Strategi dan Aksi Berani
Puncak perlawanan terjadi pada 15–16 Juni 1908. Siti Manggopoh memimpin sekelompok pasukan untuk menyerang markas Belanda di Nagari Manggopoh.
Strateginya sederhana tapi brilian:
- Mereka menyerang pada malam hari, ketika pasukan Belanda lengah.
- Lampu-lampu dipadamkan agar suasana gelap dan kacau.
- Pasukan dibagi dalam kelompok kecil, menyerang dari berbagai arah.
Hasilnya mengejutkan: sekitar 53 serdadu Belanda tewas dalam serangan itu.
Kemenangan ini membuat nama Siti Manggopoh melambung. Belanda terkejut bahwa seorang perempuan bisa memimpin serangan yang begitu terorganisir.
Antara Pejuang dan Seorang Ibu
Namun, di balik sosok pejuang, Siti tetap seorang ibu. Saat perang pecah, anaknya Dalima masih bayi dan membutuhkan ASI. Bayangkan betapa sulitnya—di satu sisi ia memimpin pasukan, di sisi lain ia harus menyusui anaknya.
Ketika Belanda mengejar, Siti bersembunyi di hutan bersama Dalima selama 17 hari. Ia berlari, berpindah tempat, dan tetap menjaga anaknya. Akhirnya, ia tertangkap.
Siti kemudian ditahan di berbagai tempat: 14 bulan di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Suaminya, Bagindo Magek, dibuang ke Manado.
Yang menyelamatkan Siti dari hukuman berat hanyalah kenyataan bahwa ia seorang ibu dengan anak kecil. Belanda pun akhirnya membebaskannya lebih cepat.
Warisan dan Akhir Hayat
Siti Manggopoh meninggal pada 22 Agustus 1965 di Gasan Gadang, Padang Pariaman. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang.
Namanya tidak setenar Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu, tetapi di tanah Minangkabau, ia adalah simbol perlawanan. Hingga kini, masyarakat Manggopoh masih mengenang kisahnya. Dalam ingatan kolektif, ia adalah lambang keberanian dan kecintaan pada adat.
Nilai Perjuangan Siti Manggopoh
Dari kisahnya, kita bisa menarik beberapa pelajaran penting:
- Keberanian melawan ketidakadilan – meski berhadapan dengan kekuatan kolonial besar, ia tak gentar.
- Kepemimpinan perempuan – membuktikan bahwa perempuan pun mampu memimpin perjuangan rakyat.
- Keseimbangan peran – ia adalah pejuang, pemimpin, sekaligus seorang ibu.
- Cinta pada adat dan tanah air – perjuangannya bukan hanya melawan pajak, tapi membela kehormatan adat Minangkabau.
Kesimpulan
Sejarah Siti Manggopoh bukan hanya kisah perang, tetapi kisah tentang keberanian seorang perempuan sederhana yang bangkit demi keadilan. Dengan kecerdikan dan ketegasan, ia mengguncang Belanda dan membuktikan bahwa semangat perjuangan tak mengenal gender.
Hingga kini, ia tetap layak dikenang sebagai Singa Betina dari Minangkabau, sosok yang menginspirasi generasi muda untuk selalu berani membela kebenaran.