Gus Baha: Keterbatasan Manusia adalah Kelebihannya dalam Beriman

Jakarta , Gatranews.id – KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha menjelaskan bahwa keterbatasan manusia justru menjadi kelebihannya dalam beriman kepada Allah SWT. Dalam ceramahnya di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, ia menyoroti bagaimana manusia mampu beriman meskipun tidak dapat melihat Allah, surga, maupun neraka secara langsung.
Menurut Gus Baha, kemampuan manusia untuk tetap taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, meski tanpa melihat-Nya, menjadikannya lebih unggul dibanding malaikat. Malaikat memiliki keimanan karena dapat melihat Allah secara langsung, sementara manusia beriman hanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan yang kuat.
Keimanan Manusia Lebih Unggul dari Malaikat
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Al-Hakim, Rasulullah SAW pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang imannya paling menakjubkan?” Rasulullah menjawab, “Kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Hadits ini menegaskan bahwa manusia yang beriman tanpa melihat langsung Nabi Muhammad maupun Allah memiliki kedudukan keimanan yang luar biasa di sisi-Nya.
Keterbatasan sebagai Jalan Menuju Allah
1. Pengakuan atas Ketergantungan kepada Allah
Kelemahan manusia menjadikannya lebih dekat dengan Allah melalui doa dan ibadah. Rasulullah SAW bersabda, “Doa adalah inti ibadah.” (HR. Tirmidzi, No. 3371). Keterbatasan manusia dalam memahami segala sesuatu memaksanya untuk bersandar kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya.
2. Peningkatan Kualitas Iman
Keimanan kepada hal-hal ghaib seperti malaikat, surga, dan neraka menjadi salah satu keistimewaan manusia. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 3)
Keyakinan ini menunjukkan keunggulan manusia dalam beriman meskipun keterbatasan akalnya tidak mampu melihat atau menjangkau langsung kekuasaan Allah.
3. Tawadhu dan Kesadaran akan Kebesaran Allah
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan, “Barang siapa mengetahui dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Kesadaran akan keterbatasan justru membawa manusia kepada pengakuan atas kebesaran Allah dan menjadikannya lebih rendah hati.
4. Kesempatan untuk Mendapatkan Ampunan
Allah menciptakan manusia dengan sifat lupa dan khilaf, tetapi membuka pintu taubat yang luas. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak Adam adalah pendosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi, No. 2499)
Keterbatasan ini menjadi sarana bagi manusia untuk terus memperbaiki diri dan meraih ampunan Allah SWT.
Keterbatasan sebagai Bentuk Kemuliaan Manusia
Dalam kitab Madarij As-Salikin, Ibn Qayyim menegaskan bahwa kesempurnaan manusia terletak bukan pada kekuatannya, tetapi pada kesadaran akan kelemahannya yang membuatnya bersandar sepenuhnya kepada Allah.
Sementara Imam Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min Adh-Dhalal menyebutkan, “Manusia yang memahami kelemahannya akan selalu mencari sumber kekuatan, yaitu Allah SWT. Karena itulah manusia menjadi mulia.”
Dengan memahami dan menerima keterbatasan, manusia dapat mencapai kelebihan berupa ketawadhuan, keikhlasan, dan ketergantungan penuh kepada Allah SWT. Inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia di sisi-Nya jika ia beriman dan bertakwa.