Kenaikan Tarif PPN 12 Persen Menuai Kritik Tajam: Rakyat dan Pengusaha Bersatu Menolak
Jakarta, Gatranews.id – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan mulai berlaku 1 Januari 2025 terus menuai penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat.
Kebijakan ini dinilai kontraproduktif di tengah melemahnya perekonomian nasional, ditandai dengan daya beli masyarakat yang anjlok, peningkatan jumlah penduduk miskin, serta penyusutan kelas menengah.
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), menyoroti dampak buruk kenaikan tarif PPN dalam situasi ekonomi yang tidak mendukung.
“Deflasi yang berlangsung selama tujuh bulan terakhir mencerminkan daya beli masyarakat yang terus melemah. Jumlah kelas menengah turun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024,” jelasnya.
Penurunan kelas menengah yang mencapai 16,5 persen ini dipandang sebagai ancaman serius bagi stabilitas ekonomi.
Di sisi lain, jumlah penduduk miskin juga mengalami peningkatan, meski persentasenya sedikit menurun dari 9,41 persen pada 2019 menjadi 9,03 persen pada 2024.
Protes dari Masyarakat dan Pengusaha
Kebijakan kenaikan PPN yang telah diatur dalam UU Pajak Tahun 2021 menuai kritik dari berbagai pihak.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan keberatannya atas kebijakan ini, dengan alasan akan semakin membebani rakyat yang sudah terdampak kondisi ekonomi.
“Kenaikan PPN 12 persen jelas memberatkan konsumen. Daya beli masyarakat sudah rendah, dan ini akan semakin memperparah situasi,” kata perwakilan YLKI.
Kalangan pengusaha juga turut menentang kebijakan tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan keberatan mereka secara terbuka.
Mereka menganggap kebijakan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi serta memperburuk daya beli masyarakat.
“Jika PPN dinaikkan, konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi akan terpuruk. Ini ancaman nyata bagi keberlanjutan bisnis,” ujar salah satu perwakilan pengusaha, sebagaimana dikutip dari Infobanknews.
Kritik terhadap Landasan Hukum
Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 juga dinilai bermasalah secara hukum dan etika. Menurut Anthony Budiawan, kebijakan ini seharusnya menjadi kewenangan presiden dan DPR periode 2024-2029, bukan warisan pemerintahan sebelumnya.
“Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU Pajak Tahun 2021 menyebutkan bahwa perubahan tarif pajak harus disampaikan oleh pemerintah dan disetujui DPR berdasarkan kondisi ekonomi terkini. Artinya, kebijakan ini semestinya menjadi wewenang presiden Prabowo Subianto dan DPR periode baru,” tegas Anthony.
Kritik juga datang dari mayoritas fraksi DPR periode 2024-2029, yang meminta agar kenaikan PPN ini ditinjau ulang. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini yang sedang melemah.
Potensi Dampak Negatif
Ekonom memperingatkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak signifikan terhadap masyarakat. Diperkirakan rakyat akan kehilangan paling tidak Rp50 triliun akibat kebijakan ini.
Selain itu, jumlah penduduk miskin diprediksi meningkat, sedangkan kelas menengah yang menjadi motor penggerak ekonomi berpotensi terus menyusut.
Di tengah gelombang protes dari masyarakat, pengusaha, dan berbagai organisasi, pemerintah diharapkan mempertimbangkan kembali kebijakan ini.
Kebijakan fiskal yang bersifat kontraksi, seperti kenaikan tarif pajak, dinilai tidak tepat diterapkan di tengah perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung.
Petisi Tolak Kenaikan PPN Bergema
Sebagai bentuk protes, sejumlah petisi yang menolak kenaikan tarif PPN telah muncul dan mendapatkan dukungan luas.
Gelombang penolakan ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi.
Dengan banyaknya elemen yang menolak, apakah pemerintah akan mendengarkan suara rakyat? Kenaikan PPN 12 persen menjadi ujian awal bagi pemerintahan baru dalam menentukan arah kebijakan ekonomi di masa mendatang.