Tak Cukup Pembatasan Pembelian BBM Subsidi Pertalite, Pemerintah Harus Lakukan Evaluasi dan Pengawasan

Jakarta, Gatranews.id – Menanggapi wacana pembatasan BBM subsidi Pertalite untuk kendaraan bermotor, Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono, menegaskan bahwa pembatasan pembelian saja tidak cukup. Ia menekankan bahwa pemerintah juga harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan subsidi energi tepat sasaran. Selain itu, evaluasi peruntukan, harga, dan distribusi BBM subsidi juga penting dilakukan.
“Pembatasan yang dilakukan pemerintah tujuannya kan untuk penghematan anggaran subsidi. Itu benar. Tapi seharusnya pemerintah juga harus mengevaluasi terkait peruntukkannya dan juga harganya,” kata pria yang akrab disapa BHS itu dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/9).
BHS menekankan bahwa prioritas BBM subsidi seharusnya diberikan kepada transportasi publik, baik logistik darat (truk) maupun angkutan penumpang massal seperti bus. Mengingat Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri dari banyak pulau, subsidi BBM juga harus diberikan kepada transportasi laut untuk penumpang, logistik, serta angkutan kereta api.
“Diharapkan masyarakat bisa terdorong untuk menggunakan transportasi publik kalau tarifnya murah, karena harga BBM-nya rendah. Dan ini tentu juga akan menurunkan harga produk industri bila transportasi logistiknya murah karena harga BBM rendah. Sehingga tentu akan berdampak terhadap harga jual produk yang murah, di mana hal ini akan meningkatkan daya beli dan mengurangi beban masyarakat konsumen,” ungkap BHS.
Prioritas peruntukan berikutnya, lanjut BHS, adalah untuk nelayan dan petani guna kebutuhan operasional mereka, seperti bahan bakar kapal nelayan dan bahan bakar untuk pompa pengairan sawah serta traktor bajak sawah bagi para petani. Diharapkan hal ini bisa membantu mewujudkan swasembada pangan dengan harga pangan yang terjangkau, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.
“Saat ini jumlah BBM subsidi untuk Pertalite adalah sebesar 31,7 juta KL dan Solar sebesar 18,89 juta KL. Sebetulnya jumlah ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi publik dan logistik massal, baik darat, laut, dan kereta api, serta kebutuhan nelayan dan petani yang hanya membutuhkan tidak lebih dari 20% dari total kuota subsidi Solar dan tidak lebih dari 10% total kuota subsidi Pertalite,” tegas BHS.
Lebih lanjut, BHS menjelaskan bahwa sisa kuota BBM subsidi untuk rakyat yang menggunakan kendaraan pribadi, yang berjumlah sekitar 19,7 juta mobil dan 120 juta motor, masih sangat cukup. Namun, jika BBM subsidi disalahgunakan, seperti dialihkan ke sektor industri, atau jika terjadi kebocoran di pipa-pipa kilang minyak yang sering terjadi di Indonesia, maka dampaknya akan berbeda.
“Seharusnya indikasi penyalahgunaan BBM subsidi serta kebocoran harus diawasi dan ditindak langsung oleh aparat Kepolisian, Kejaksaan dan bila perlu KPK. Karena BBM subsidi dianggarkan dari dana APBN. Maka penyalahgunaan BBM subsidi sama dengan manipulasi atau korupsi,” lanjut BHS.
BHS juga menekankan bahwa harga BBM subsidi Pertalite yang memiliki oktan 90 perlu dievaluasi. Sebagai perbandingan, harga BBM non-subsidi dengan oktan 97 di Malaysia hanya sebesar 3,42 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp 12.000.
“Sedangkan Pertalite harga subsidi sudah sebesar Rp 10.000. Padahal oktan kedua BBM tersebut terpaut 7 oktan, suatu perbandingan yang cukup besar. Bahkan diperkirakan bisa selisih di atas Rp 3.500.”
Menurut BHS, jika harga BBM subsidi Pertalite bisa diturunkan sekitar 25-30% dari harga sekarang, maka kuota BBM subsidi bisa ditambah. Kuota Pertalite yang sebelumnya 31 juta KL, bisa meningkat sekitar 7-8 juta KL menjadi sekitar 38 juta KL.
“Maka kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi kebutuhan BBM subsidi bagi masyarakat pengguna transportasi pribadi itu bisa terpenuhi dengan baik,” tegas BHS lagi.
Kewajiban tersebut ada karena, menurut BHS, transportasi publik di Indonesia masih belum mampu menyediakan konektivitas antar moda yang terjangkau, cepat, aman, nyaman, dan terjadwal. Situasi serupa juga terjadi di Malaysia, di mana pemerintah memberikan subsidi Bahan Bakar Ron 95 dengan harga sangat murah, yaitu 2,05 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp 6.900, untuk 17,2 juta kendaraan mobil dan 16,7 juta sepeda motor secara penuh.
“Karena pemerintahnya merasa belum bisa menyediakan transportasi publik dari point to point secara maksimal,” pungkas BHS.